Friday, April 10, 2009

Fullmoon Fullmoon Fool me


Disinilah aku, duduk berhadapan dengan bulan penuh yang cahayanya menjulurkan lidah ke arahku. Bulan itu mirip bakpau yang kutunggu dari tadi siang. Mirip tertawa antara dia dan aku, yang sebelumnya aku kira akan aku temui malam ini. Aku telah sampai kembali pada kesesakan yang tak membuatku biasa ini. Setelah bangun dari tidur, dalam tidur aku bermimpi berlari melewati semak- semak dan besi- besi runcing yang menjulur dan siap menusukku. Tapi dia dengan sabar menungguiku dengan kaos biru dan senyumnya yang bercahaya, seperti bulan itu. Aku jatuh namun dapat berdiri lagi, dan seterusnya, sampai kami tiba di sebuah lapangan rumput besar dan menemui rumah pohon milik kami telah tidak lagi sempurna. Tapi di tanahnya yang coklat masih ada guratan itu, gambar rumah, aku dan dia dan kegembiraan yang aku dan dia lukis sejak lama. Aku kecewa rumah itu berantakan dan dinding- dindingnya hilang tak lagi seperti semula, tapi di dalam mimpi itu dia tersenyum dan mengatakan padaku untuk tidak perlu khawatir. Cukup itu saja, senyuman itu, optimisme dari matanya, betapapun bangunan itu hancur namun tangannya yang terus menggapai jemariku lebih berharga daripada bangunan yang indah. Dalam mimpi itu lalu kami berlari meninggalkan rumah pohon yang rusak dan dia mengajakku menghampiri rumah yang lebih baik, memang tidak sama seperti yang dulu, memang tidak ada rumput hijau di halamannya, tapi tetap ada dia yang tersenyum seperti nyala bulan.

Sebangun dari tidur, aku tidak bisa pungkiri untuk berharap. Memang harapan membawa kekecewaan, segala kata bijak itu bahkan aku sudah tahu jikapun tak lagi kembali di ingatkan. Namun inilah aku. Duduk di teras rumahku yang nyata memandang bulan penuh dengan tatapan kosong. Harapanku tidak kosong, namun sekali lagi ini terasa sulit bagiku, menerima. Aku percaya aku akan sembuh, karena Dia Yang Maha Sempurna menyediakan jutaan obat di luar sana, dan obat kali ini terasa sangat pahit. Inilah aku, berhadapan dengan bulan penuh dan menghadapi suntikan di ulu hati untuk belajar tetap kuat. Tidak ada yang lebih aku harapkan daripada dia. Namun tidak ada yang dapat aku lakukan selain menyayanginya dan memberikannya waktu, mungkin dia akan kembali , mungkin dia akan tetap jauh dan besar seperti bulan hari ini.

Rasa yang aku punya semakin kompleks, aku tidak lagi dapat menangis berderai air mata, yang ada hanya bola mataku yang kering dan ujung jari yang selalu merasakan desiran darah. Aku Lemah. Aku benar- benar ada di titik lemah. Titik paling bawah, tapi aku juga tahu, titik paling bawah ada untuk mengembalikanku ke titik puncak, bahkan titik yang lebih jauh dari sebelumnya. Seperti pantulan bola, aku sedang dibenturkan ke lantai. Aku hanya bisa melewatinya dan terus membakar semangatku. Melewatinya, sampai aku benar- benar terbiasa dengan perasaan lemah ini. Mengatasi diriku untuk tidak marah. Mengatasi diriku sendiri untuk tetap sabar dan ikhlas. Mengingatkan diriku sendiri bahwa bintang- bintang di luar sana tidak berporos padaku, namun mengingatkanku terus bahwa Sang Pemilik Kuasa begitu menyayangiku, menyayangiku seperti Ia menyayangi seisi alam. Menyayangiku dan memeliharaku untuk tetap terasah, untuk tetap kuat dan menjadi hebat.

No comments: