Josephine Werratie Komara alias Obin tak pernah mau bercerita tentang dirinya sendiri. Maka artikel ini merupakan hasil wawancara dari lebih dari 13 orang. Diantaranya August Parengkuan, Melly Budiman, John Suryaatmadja, Inet Leimena, Erlangga Komara, Ronny Siswadi, Karlina Supelli, Bondan Winarno, Maria, Wita, dan masih banyak lagi. Obin sesekali memberikan komentar atas berbagai pandangan mereka atas dirinya. “Masak gue yang harus cerita tentang diriku sendiri.. Biar mereka saja bicara tentang gue….,”katanya.
***
Gadis kecil itu terpaku di depan sebuah ember. Tubuhnya membungkuk, matanya tertumbuk pada gerakan air yang yang berputar di dalamnya. Dia mengamati dengan seksama bagaimana cairan putih pembersih lantai itu berputar, berputar, lantas meluruh bersama air bersih. Ia lupa –tepatnya tidak peduli– dengan segala hal yang ada di sekelilingnya saat itu. Lalu imajinasinya tumbuh, membayangkan dirinya sebagai cairan putih pembersih lantai yang meluruh bersama air.
Usai dengan imajinasinya itu, ia lalu berlari ke sebuah lapangan luas. Di sana ia merasakan angin yang menghembus dan membelai tubuhnya dengan sempurna. Dan tiba-tiba saja, dia sudah membayangkan dirinya menjadi angin yang berputar-putar mengelilingi pohon-pohon. Perasaan dan pikirannya begitu sensitifnya sehingga ia dengan mudah menyatu dengan segala yang diperhatikannya. Baginya, di usianya yang masih belia, segala hal begitu nyata. Namun tidak demikian halnya dengan lingkungan sekelilingnya. Kelakuannya yang tidak biasa itu membuatnya dicap sebagai anak yang aneh. Karena itulah ia lebih sering sendiri dan hidup dalam imajinasinya. Gadis kecil ini bernama Ang Siok Bin, dalam bahasa Mandarin berarti elegan dan sophisticated, yang biasa dipanggil Obin.
Di sekolah, ia juga membuat pusing guru-gurunya. Ia sering memperdebatkan segala hal yang dianggapnya tidak konsisten atau tidak masuk dalam logika berpikirnya. “Baru tadi pagi saya dapat pelajaran bahwa bumi dibuat dalam waktu tujuh hari. Tapi sekarang, bumi dikatakan terjadi dalam waktu ribuan tahun. Mengapa bisa terjadi perbedaan “kebenaran” seperti ini?” tanyanya saat itu. Tidak ada satu jawaban pun yang mampu memuaskan rasa ingin tahunya, ia malah mendapat hukuman untuk membersihkan ruangan selama berhari-hari. “Saya sungguh tak mengerti …”
Itu baru satu soal, sementara masih banyak pertanyaan yang terus diajukan olehnya. Atas dasar pertimbangan itulah sekolah menyerahkan Obin kembali kepada orang tuanya. “Mereka mengatakan saya anak yang sulit diatur,”katanya tanpa beban. “Yang jelas, gue tak pernah memutuskan untuk tak sekolah. Tapi sekolahlah yang memutuskan gue nggak di sekolah itu,”tandasnya. Kali ini ia menggunakan kata gue. Karena sekolah dianggap kontraproduktif, ia yang banyak belajar dari pengalaman hidup memutuskan untuk berhenti. Waktu itu, ia berumur 12 tahun.
Di rumah, ia juga tak merasa nyaman. Pola pikirnya yang tak seragam dengan anak seusianya, membuat gadis tomboi ini sering berantem dengan kedua kakaknya demi sebuah kebenaran yang dipercayai. Anda bisa merasakan bagaimana “serius”-nya mereka berantem sehingga noda merah di putih matanya masih terlihat hingga saat ini. Ia juga kerap dianggap kabur dari rumah. Padahal menurut psikiater yang merawatnya di kemudian hari, di antara seluruh “kelebihan” ini, nyatanya ia memiliki orientasi tempat yang sangat lemah. Ketika berada di tempat yang baru atau asing, tak jarang ia tak tahu jalan kembali,
Di dunia ini, hanya sang ayah yang dianggap bisa memahami dirinya. Maka ketika tiba-tiba ayahnya meninggal dunia, ia begitu terpukul. “Itulah titik balik dalam hidup saya. Segala sesuatunya berubah dengan drastis,”katanya sendu. Nafasnya memberat. Sorot matanya yang dalam dan berair tampak menyimpan sebuah pengalaman yang tak ingin dikatakan pada siapapun. Untunglah ibunya bertindak cepat saat itu. Ia pun dibawa pada psikiater senior untuk diobservasi.
Ia tiba-tiba tersenyum, seperti mengenangkan sesuatu yang indah. Psikiater itu, kata Obin, telah mengungkapkan satu hal yang diyakini hingga kini. “Bin, kamu terlahir terlalu cepat dari zamanmu. Kelak, kamu akan mendapatkan suatu masa dimana banyak anak yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan kamu saat ini,”tuturnya menirukan kalimat psikiater senior pria yang akhirnya menawan hatinya itu. Empat puluh tahun kemudian, anak-anak dengan ciri-ciri sepertinya banyak ditemui. Dinamakan gejala autis. Ia ditengarai memiliki ciri-ciri autis -yang pada saat itu belum dinamai autis– seperti tertarik dengan sesuatu yang berulang-ulang, memiliki imajinasi yang sangat kuat, merasa bisa menyatu dengan alam, dan memiliki pola pikir yang unik. Namun berbeda dengan anak autis, ia justru bisa menjelaskan bagaimana proses dan imajinasi yang ia alami dengan sangat baik. Sesuatu yang selama ini dianggap sebagai “kelemahan” itu lantas menyublim menjadi sebuah kekuatan yang tidak dimiliki oleh orang lain.
Di sisi lain, pertemuan dengan sang psikiater yang mengerti dirinya ini ternyata membuat Obin belia -saat itu masih belasan tahun– jatuh cinta untuk pertama kalinya. Kisah asmara dengan psikiater tua itu memang tak pernah ada. Tapi rasa cinta itu pernah bersemayam dalam hatinya. Pertemuan ini pada akhirnya membuat ia bisa memahami dirinya dengan lebih baik. Obin, memulai hidupnya kembali. Dengan penuh optimisme, ia menata hidupnya di kemudian hari.
MENGURAI MASA REMAJA, MENEBAR PERSAHABATAN
Obin pun lantas tumbuh menjadi seorang gadis yang tak hanya cantik, namun juga cekatan. Ia bekerja di kantor travel milik ayahnya di Jalan Kopi, Jakarta, setelah memutuskan tak sekolah. Bondan Winarno, mantan Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan dan kini pengamat kuliner, yang mengenalnya saat berusia 16 tahun menceritakan suatu pengalaman di tahun 1973. “Saat itu lebaran hari kedua, saya minta tolong dia untuk membuatkan paspor. Ternyata paspor itu jadi hanya dalam sehari. Sesuatu yang sepertinya tak mungkin, tapi ia bisa melakukannya.”
Itulah ajaibnya Obin. Di tengah-tengah kesibukannya bekerja, ia terus mengasah komunikasi dan daya persuasinya dengan teman-teman berbagai kalangan. Tak pernah sekalipun ia merasa minder berkumpul dengan teman-temannya yang anak sekolahan. Ia bahkan sering diberi kepercayaan untuk mengkoordinir pesta-pesta “dugem”untuk teman-temannya, sebagai salah satu pekerjaan sampingannya. Di saat bersamaan, ia juga senang nongkrong atau nonton lenong di Taman Ismail Marzuki (TIM), bersama sahabatnya :Abas Alibasyah, pelukis senior yang juga dikenal sebagai seorang pejuang, pemikir, organisatoris dan senantiasa setia dengan hati nurani.
August Parengkuan dan John Suryatmadja yang telah mengenal Obin dalam 30 tahun terakhir menceritakan salah satu resep yang membuat ia disukai banyak orang. “Dia adalah orang yang memahami arti persahabatan, rendah hati dan ringan tangan.” Tak jarang ia mengirimkan masakan istimewanya, sebuah kelebihan yang ditularkan ibunya, untuk teman-temannya. Jejaring pertemanan yang tulus inilah yang pada akhirnya banyak membantunya dalam berbisnis kelak. Entah di Jakarta, entah di Hongkong.
Sayang, banyaknya pertemanan yang dijalin tak mampu membendung kerinduannya pada sosok sang ayah. Mungkin itu pula sebabnya ia memutuskan menikah pada usia yang relatif muda. Di sini, ia kembali belajar mengenali kehidupan perkawinan yang tidak hanya sekadar romantika kerinduan. Sejumlah perbedaan membuat perkawinan itu berakhir. Jangan dikira bahwa perpisahan ini tidak menyakitkannya. “Aku meninggalkan ayahmu, tapi bukan kamu,” katanya pada anaknya yang saat itu masih berusia 8 tahun, Elang. Hatinya? Hancur tak terkira.
Ketika bersikukuh pada prinsip hidupnya, all or nothing, ia dihadapkan dalam sebuah konsekuensi yang tak ringan. Ia tinggalkan rumah hanya dengan baju sekadarnya dan uang sebesar Rp. 10 ribu rupiah. Tanpa pekerjaan. Dan terutama meninggalkan anaknya karena dengan sadar ia merasa tak mampu untuk menghidupinya saat itu. Sebuah pavilion kecil dengan kasur lipat dikontrak. “Kalau malam buat tidur. Kalau siang gulung kasur, jadi kantor.”
Hidup sendirian tak membuat Obin cemas. Tak pernah sekalipun ia memberikan kesempatan kepada ketakutan untuk berkembang. Boleh jadi, ia merasa punya banyak teman yang dapat dihubungi sewaktu-waktu tatkala ia butuh bantuan. Apalagi, Elang yang ditinggalkannya beberapa bulan di rumah mantan suami, kemudian memutuskan hidup bersama Obin. Obin sadar bahwa pilihan untuk hidup sendirian penuh dengan konsekuensi. Sebagai single mother cukup muda, banyak pria mendekati dan berkunjung ke rumahnya. “Saya tahu mereka menyukai Mama. Tapi Mama bergeming. Dari Mama-lah saya bisa belajar bahwa hubungan lelaki dan perempuan tidak melulu bermuara pada hubungan romantis,” kenang Elang.
Kesetiaan dan dukungan terhadap teman-temannya secara tulus itulah yang pada akhirnya banyak membantunya. Ia tak sungkan memulai pekerjaan sebagai pembuat kap lampu dan jok sofa hingga akhirnya dia membuat usaha pertamanya: Bin House. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1986, saat Obin menginjak usia yang ke 31.
SELEMBAR KAIN, LUAPAN IMAJINASI
Masuknya Obin di dunia fashion sebenarnya bukan hal yang kebetulan. Sejak kecil, ia yang berasal dari keluarga berada, benar-benar menikmati hidup dengan berbagai gaya hidup terdepan. Termasuk dalam berbusana. Persentuhan dengan kota metropolitan Hongkong saat dia sekolah dan kecenderungannya untuk mengamati sesuatu secara berlebihan membuat pikirannya terbuka. Hingga suatu saat pikirannya tertambat pada gaya busana yang selalu dikenakan ibunya: kain, kebaya dan perhiasan antik.
Mulailah berbagai pertanyaan mendesak dalam pikirannya. Mengapa gaya berpakaian ibunya yang menurutnya lebih anggun dan sophisticated itu tidak banyak disukai orang. Justru sebaliknya, semakin ditinggalkan, demi sesuatu yang lebih praktis dan ringan. “Mengapa orang tidak memilih sesuatu yang anggun. Batik dan kain tradisional kan sangat rumit dan lebih bagus dari apapun. Mengapa kita tidak lestarikan?,” begitu pikirannya saat itu.
Kejadian yang terjadi di awal tahun 70-an itu membawanya pada berbagai pertemuan dengan kain-kain tradisi dari berbagai daerah. Dan seperti biasa, ketika ia sudah punya kemauan, maka ia akan habis-habisan untuk melakukan berbagai hal untuk memuaskan segala rasa keingintahuannya. Iapun bertualang ke Solo dan daerah-daerah lain untuk memelajari batik, langsung pada pengrajinnya. Perkenalannya dengan Iwan Tirta dan Go Tik Swan kian memperkuat rasa kecintaannya terhadap batik itu sendiri.
Perlahan-lahan “kelebihan” autisnya tertuang dan terluap dalam pencarian terhadap batik itu sendiri. Keunikannya dalam berpikir dan melihat sesuatu dan imajinasinya yang bisa menembus apa saja yang dilihat melalui matanya, membuat penyakit imsomianya mendapat tempat. Ia terus berpikir dan berpikir untuk mengembangkan karya-karyanya melalui usahanya, Bin House.
Ketika pertama kali membuat usaha, ia hanya berbekal kemampuannya dalam mengolah satu bahan kain: sutera. Dalam perkembangannya kemudian, ia sendiri turun tangan untuk mengembangkan teknik membatik. Segala motif ditorehkan dalam kain berasal dari luapan imajinasinya saat menyatu menjadi alam yang diinginkannya. Seperti ketika ia menunjukkan sebuah kain berwarna paduan coklat keemasan. “Lihatlah, tekturnya, warnanya, rasakan… ini seperti sepotong kayu basah bukan?”. Ide-idenya yang cemerlang membuat sahabatnya, Karlina Supelli yang juga profesor di bidang astronomi itu betah berdekatan dengannya untuk mendengarkan cerita-cerita gilanya saat berkarya.
Selama bertahun-tahun, ia bekerja sendirian untuk mewujudkan sebuah pemikiran yang tak populer di masa modernisasi meluap ke seluruh indonesia masa itu, yakni melestarikan kain tradisi. Bin yang juga diartikan sebagai Buatan Indonesia itu terus digarapnya dengan serius. Kepiawaiannya dalam mengolah kain tradisi, yang pada masa itu dianggap sebagai sesuatu yang remeh temeh, menjadikan karyanya mengglobal karena orisinalitasnya. Bila dulu Obin dianggap lahir sebelum zamannya, maka Obin kembali melahirkan “anak” yang lahir sebelum zamannya. Dua puluh dua tahun kemudian, banyak butik serupa Bin House dilahirkan.
Tentu saja, keberhasilan ini tidak hanya lahir dari sekadar bakat alam, namun juga kekuatan persuasinya. Ia selalu punya cara untuk membuat permintaannya dipenuhi orang lain, tanpa sekalipun mereka merasa dipaksa. “Kadang-kadang permintaannya tak masuk akal, tapi entah kenapa, saya selalu tak bisa menolaknya,” cerita John Suryaatmadja - teman lama yang sudah puluhan tahun mengenal Obin. Pernyataan ini lantas diamini oleh beberapa karyawan Bin House di Jl. Purworejo yang ikut bergabung dalam perbincangan sore itu. “Namanya juga usaha. Sepertinya kepandaian ini aku dapatkan dari ayahku,” sambung Obin.
Ia juga dikenal sangat profesional dan perfeksionis. “Banyak idenya yang sepertinya tak mungkin dilakukan. Tapi di tangan Obin, dengan segala judes dan galaknya saat bekerja, menjadikannya bisa terjadi,” ujar Inet Leimena yang pernah menjadi pengarah panggung pergelaran tunggalnya. “Ia minta disiapkan tujuh layar danconveyer belt di atas panggung. Sementara para model harus berlatih menari selama berbulan-bulan. Itu kan hal yang tak umum,” Inet memberikan contoh. Lalu katanya, “Awalnya aku tak suka sama Obin. Kini aku terjebak, merindukan hal-hal baru dalam bekerjasama.”
PEJUANG YANG SENDIRIAN
Entah apakah karena ia terlatih melakukan segala sesuatu sendirian, maka ide-idenya tentang sebuah karya ataupun sebuah kegiatan, terkesan unik. Contohnya ketika ia berinisiatif mengajak serombongan tunanetra menuju Taman Safari dan melakukan outbound – suatu aktivitas yang biasanya hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu lantaran hobi atau kebutuhan. Tujuannya adalah mengajak mereka melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan atau dipikirkan sebelumnya. Ide ini diperolehnya seusai bermimpi mendengar suara ibunya dalam keadaan gelap gulita di mana ia tidak bisa melihat. “Gue langsung terbangun, badan gue basah keringat. Begitu ya, rasanya jadi orang buta, ” katanya tersentuh. Begitu intensnya perasaan Obin saat itu, sampai ia turun tangan sendiri sebagai pemandu, dan mengajak kaum tunanetra meraba binatang. Setelah itu, ia juga mengajak teman-temannya untuk menggunakan jasa kaum tunanetra di kantor-kantor, seperti halnya dirinya.
Obin juga masih memiliki kisah lain yang tak kurang mengesankan. Ketika beberapa tahun silam terjadi kerusuhan Mei, dia justru membuka dapur umum. Padahal, hampir semua warga keturunan – seperti dirinya – sudah menutup pintu atau melarikan diri. Sebenarnya bisa saja ia meminta orang lain memasak dan mengirimkan makanan. Tapi ia melakukannya sendiri. Dan entah keajaiban apa yang selalu mendekati langkahnya, bantuan terus bergulir. Hingga kini, ia masih membantu berbagai korban bencana dan mengadakan bakti sosial, dengan mengajak seluruh sahabat setianya. Ia pula yang menjadi koordinator seluruh bantuan dan mengirimkan sampai ke tempat kejadian.
“Ini adalah bagian dari kepedulian sosial saja,” katanya, menolak dianggap melakukan hal yang istimewa. “Apa yang saya lakukan itu sama dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang tua kita. Membuka dapur umum. Masak yang bisa kita lakukan cuma dandan doang,” katanya lepas. “Terserah saja aku ini dibilang barang langka atau antik yang masih ada sampai sekarang. Antik mungkin soal nilai, tetapi lihat cara berpikirku sangat modern. Walau nilai-nilai dianggap antik atau kuno, tapi menurut gue, bukankah itu yang sepantasnya?”
Memang banyak pendirian Obin yang tak umum. Salah satunya ketika ia menanggapi penjiplakan terhadap karya-karyanya. “Itu bukan urusanku,” katanya santai, tak ada roman resah. Kalaupun ada yang membuatnya gundah adalah rambut Elang yang kian memutih, sementara ia masih tetap dengan rambut hitam dan panjang yang tak bisa dipotong karena setiap orang yang memotong rambutnya tiba-tiba akan jatuh sakit. “Aku sudah menjaganya dari kecil. Sekarang giliran dia menjagaku di hari tuaku.”
Namun yang paling patut disimak barangkali adalah gaya penampilan kesehariannya: kebaya, kain, perhiasan antik, dan rambut yang selalu digelung ala perempuan ‘jadul’. Tak jarang ia menyematkan bunga kantil kuning segar di gelungnya setelah meletakkan hio di depan abu keluarganya. “Fashion is about be yourself. Menjadi fashionable, itu adalah bagian dari itu. Tapi yang terpenting adalah bagaimana menjadi dirimu sendiri,” ungkap Obin yang kini telah menemukan tambatan hatinya: Ronny Siswadi.
“Dengan gaya pakaian yang sangat ndeso (ala gadis dusun) itu, dia bergerak di duniafashion papan atas dunia. Tapi di situlah (gaya berpakaiannya-red) saya pikir sisi menariknya Obin. Terkadang kainnya tersibak memperlihatkan betis, yang justru membuat perempuan terlihat makin sensual,” August memberikan komentar. Lalu tertawa, lepas. Kemudian serius berkata, “Dia adalah tailor made person. Saya percaya kehebatan dia berasal dari ibunya, seorang guru yang juga pandai memasak. Dan yang pasti, “susuk”-nya berasal dari ice lemon tea yang selalu dihidangkan di butiknya itu.”
Obin, perempuan berpenampilan gadis dusun yang ‘jadul’ itu, telah melompat jauh ke depan. Usahanya merambah tempat-tempat eksklusif di berbagai negeri, berjejer dengan butik-butik besar desainer dunia: lima di Indonesia, empat di Jepang, dan satu di Singapura, dengan lebih dari 2500 pengrajin kain di berbagai daerah di Indonesia. Saat ini, ia juga menjadi ikon untuk iklan private banking Julius Bär, sebuah pengelola aset terkemuka dunia asal Swiss. Ia terpilih di antara seluruh perempuan dunia karena komitmennya pada kesempurnaan.
Namun semua itu tak lantas mengubah sosok Obin menjadi lebih ‘umum’. Ia masih seperti dulu, tetap giat berkarya, dan terus terlibat dalam kegiatan sosial yang tak banyak diminati – seperti mengurus olahraga pencak silat atau melirik musik keroncong. Alasannya untuk dua hal terakhir ini sederhana saja. Ia prihatin karena sudah 12 tahun emas pencak silat dipegang Malaysia – dan karenanya ia sangat bangga karena keterlibatannya dalam penanganan atlet, termasuk menu makan, membuahkan dua emas di Asian Beach Games. Sedangkan untuk musik keroncong, ia berkeinginan menanganinya secara profesional. “Profesional yang pakai hati. Ibaratnya, bila dua insan hatinya sudah satu dengan yang lain, you can create magic…” katanya.
Begitulah Obin. Ia terus memperjuangkan segala hal yang dianggap sebagai nilai-nilai Indonesia – namun yang kini sudah terkikis oleh globalisasi. “Saya memang tak begitu cocok dengan globalisasi, karena meniadakan anomali. Menyamakan semua hal berdasarkan kotak-kotak yang sudah ditentukan. Padahal dalam hidup banyak sekali varian yang seharusnya bisa dipelajari sehingga menjadi tambah wawasan.” Pejuang dan wanita anomali yang dibesarkan di Jalan Kopi ini tampaknya terus mencoba merebut “kemerdekaan”: bangsa Indonesia yang dicintainya dari segala bentuk penjajahan. Dengan segala daya upaya dia sampaikan salam kemerdekaan, bukan dengan kata, melainkan karya. Obin, pejuang yang sendirian. Meski banyak sahabat menemaninya. (menyunting Rustika Herlambang - http://rustikaherlambang.wordpress.com/2008/11/30/obin/)